terça-feira, 24 de abril de 2012

Jovens timorenses em Fatima-Portugal

Viva Timor Leste

MANUSIA DICIPTAKAN BERPASANGAN


Pe. Prisco Virgo, SVD

Secara kejiwaan, dalam diri setiap laki-laki atau perempuan, sekaligus ”bermukim” dua arketipe
dasar pembentuk perwatakan manusia, yang dalam bahasa Latin disebut: Animus dan Anima. Watak dasar sang Animus adalah sifat-sifat maskulinitas yang terekspresi melalui sikap-sikap seperti: Pemberani, penguasa, pengambil keputusan, ketangkasan, penantang, keunggulan, kepatriotan, rasional dan penjabaran keinginan secara singkat atau dalam garis-garis besar. Sedangkan watak dasar sang Anima adalah sifat-sifat feminimitas, yang biasanya terekspresi
melalui sikap-sikap: Kelemah-lembutan, keramah-tamahan, suka mengalah, suka berkorban, perhatian, kasih sayang, panjang sabar, mendahulukan orang lain, sensitif dan menjabarkan keinginannya secara mendetail. Kerap kita terjebak dan menduga misalnya, bahwa seorang laki-laki pemberani dan patriotik, tidak memiliki sifat-sifat lemah-lembut. Atau sebaliknya juga, seorang perempuan yang sensitif dan lemah gemulai, tidak memiliki sifat-sifat tegas dan tangkas atau pemberani dan pemberontak.

Ilmu kejiwaan memberitahukan kepada kita bahwa seorang laki-laki memiliki arketipe Animus yang lebih kuat dan lebih menonjol. Maka Anima seorang laki-laki ”terperangkap” dan menjadi pasif oleh karena sifat-sifat kejantanannya, sehingga Anima laki-laki, tidak terlalu berperan dalam perwatakan para pria. Anima seorang laki-laki hanya akan muncul dan berperan dalam
keadaan-keadaan ”kritis” tertentu, untuk bekerja sama dengan sang Animus yang berkuasa itu, agar keseimbangan kebijakan pribadi seorang laki-laki tetap terjaga. Hal yang sama, seratus
persen terjadi pada diri seorang perempuan. Anima seorang perempuan, lebih berperan dibandingkan Animus-nya. Secara natural, normalnya seperti itu. Kejanggalan baru akan muncul, ketika seorang laki-laki memiliki ”Anima” yang lebih menonjol atau juga seorang perempuan, memiliki ”Animus” yang lebih berkuasa, pada arketipe dasar perwatakan masing-masing. Dan ”kejanggalan” itu otomatias diekspresikan melalui sifat dan tingkah laku kongkrit yang kelihatan dalam hidup harian. Masyarakat lalu menciptakan predikat khusus untuk laki-laki atau perempuan jenis terakhir ini. Laki-laki ber-”anima” lebih kuat disebut: Waria (wanita-pria atau bencong) dan perempuan ber-”animus” lebih menonjol disebut: Prita (pria-wanita atau tomboy). Waria dan Prita sering ”dilecehkan” dalam banyak kesempatan. Pada hal seungguhnya, watak itu bukan keinginan mereka. Melainkan deviasi kondisi kejiwaan, ditambah pengaruh lingkungan masa kecil, yang seharusnya perlu diterima apa adanya. Karena hidup ini sendiri pun, sering dipenuhi hal-hal yang sangat kontraditoris.

Secara generatif, seorang anak laki-laki menerima ”Anima” dari ibunya dan seorang anak perempuan menerima ”Animus” dan ayahnya. Karena pada saat persatuan sel ayah dan ibu, setiap anak manusia dibentuk oleh 48 kromosom: 24 dari ayahnya dan 24 dari ibunya. Keadaan arketipe dasar kejiwaan yang berbanding terbalik antara ”Anima” laki-laki dan ”Animus” perempuan inilah, secara alami menyebabkan anak-anak perempuan, pada umumnya lebih dekat kepada ayahnya dan anak-anak laki-laki, akan lebih dekat pada ibunya, sebelum mereka memasuki usia puber. Dan di masa akil-balig itulah, kecenderungan itu akan dialihkan kepada lawan jenis. Maka sampai akhir hanyatnya, secara normal alamiah, seorang laki-laki yang sehat rohani (jiwa) dan jasmani (badan)-nya, akan tetap merindukan kehadiran seorang perempuan
sebagai ”teman”, sekaligus sebagai belahan jiwanya. Begitu pula sebaliknya. Seperti pada hukum magnet yang berbunyi: ”Kutup se-nama, tolak-menolak, kutup tidak se-nama, tarik-menarik.”

Ketika sebuah rumah tangga mulai dibangun setelah pernikahan, secara kejiwaan, laki-laki (suami) dan perempuan (istri), akan selalu saling mengisi. Kelemahan Anima sang suami akan selalu dikuatkan dan diteguhkan oleh Anima istrinya. Sebaliknya, kepasifan Animus sang istri, akan diaktifkan dan diperkokoh oleh ”Animus” suaminya, tanpa mereka sadari. Hal itu berjalan normal alami. Ibarat sebuah rumah, bila suami (laki-laki) adalah ”dinding kokoh” yang melindungi seluruh isi rumah, maka istri (perempuan) adalah ”tiang induk” yang menopang seluruh bangunan rumah itu. Ketika salah satunya roboh, maka seluruh bangunan rumah itu segera menjadi tidak berbentuk. Kisah seperti ini, bisa kita temukan pada kasus-kasus yang sering menimpa pasangan-pasangan yang berhasil mempertahankan usia pernikahan mereka sampai usia lanjut. Bila suami atau istri meninggal dunia, maka dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, pasangannya pun akan ”pergi” menyusuli belahan jiwanya itu. Salah satu contoh klasik yang antik, terjadi antara Kahlil Gibran, Filsuf, Penyair dan Pelukis asal Libanon yang hidup di Amerika Serikat. Melalui korespondensi, sang penyair ini ”menikah” secara”kejiwaan” dengan May Ziadah, Sastrawati Mesir yang tinggal di Kairo. Keduanya tidak pernah bertemu secara fisik dan hanya bisa mengungkapkan getaran jiwa mereka melalui surat menyurat selama bertahun-tahun, tanpa memiliki keinginan untuk menikah dengan orang lain. Ketika Kahlil diberitakan meninggal dunia, May menjadi shock dan akhirnya dia pun meninggal, satu
tahun setelah kematian Kahlil.

Alam yang ”mengasuh” manusia di atas bumi ini pun, kerap dipandang oleh manusia seturut arketipe ”Animus” dan ”Anima” yang ada dalam dirinya. Dalam banyak agama tradisional dan kebudayaan purba, Langit dipandang sebagai yang memiliki ”Animus” (laki-laki), karena
selalu menurunkan hujan, agar Bumi yang dipandang sebagai yang memiliki ”Anima”
(perempuan), bisa menumbuhkan kehidupan baru dari ”rahimnya” (humus tanah). Matahari yang menguasai siang, adalah ”Animus” yang perkasa, karena sinarnya yang terik dan membakar. Sementara Bulan yang menguasai malam, adalah ”Anima”, karena memiliki sinar yang lembut menyejukkan. Matahari dan Bulan adalah Animus dan Anima yang menguasai siang dan malam. Tanpa Matahari, semesta akan menjadi gelap dan tanpa Bulan, semesta akan menjadi gulita. Karena itu, pada bangsa-bangsa purba di jaman dahulu kala, para Kaiser, Raja atau Kepala Negara, mejadikan Matahari sebagai simbol kekuasaan dan para permaisuri atau ibu
negara, menjadikan Bulan sebagai simbol kecantikan dan kumurahan hati. Maka para Raja atau Kaiser yang terlalu kuat Animus-nya, bagaikan Matahari yang bersinar terik dan bisa
menghanguskan negara, sering hanya bisa dijinakkan oleh para permaisurinya yang memiliki kelemah-lembutan bagai Bulan yang menyejukkan dan menenangkan hati para ”Matahari”
itu. Sehingga ada permaisuri atau istri raja yang memiliki sifat seperti ini, sering
disayangi oleh rakyatnya, sejajar penghormatan yang mereka berikan kepada Rajanya.

Saya teringat Presiden Mikhail Sergeyevich Gorbachev, penguasa Unisoviet (11 Maret 1985 - 25 Desember 1991) pada akhir masa perang dingin dengan Amerika Serikat, yang bersinar bagaikan ”Matahari” bagi Rusia. Dia adalah pemimpin Unisoviet pertama yang membuat tercengang para petinggi Kremlin, karena Gorbachev mengisinkan istrinya, Raisa Titarenko, untuk mendampinginya pada setiap kemunculannya di depan umum dan bahkan sang istri bisa ikut melawat bersamanya ke luar negeri. Para pemimpin Rusia sebelumnya, tidak pernah melakukan hal ”ganjil” yang dianggap ”melanggar” protokol kenegaraan itu. Dan sekali lagi, sebelum para petinggi Kremlin itu habis rasa terkejut mereka karena kemunculan Raisa, Presiden ”Matahari” ini mengeluarkan ”jurus-jurus” yang mencengangkan para petinggi pemerintahan di seluruh dunia: ”Keterbukan” (Glasnost), ”Restrukturisasi”(Perestroika), ”Demokratisasi” (Demokratizatsiya) dan “Percepatan Pembangunan Ekonomi” (Uskoreniye). Gebrakan Mikhail ”pemilik” Raisa inilah, yang kemudian menyebabkan perubahan besar-besaran di Unisoviet, termasuk diakhirnya perang dingin dengan Amerika Serikat dan banyak negara Balkan boleh melepaskan diri dari kungkungan Unisoviet bersatu. Satu tahun setelah pelantikannya, dia bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagen di Reykjavík, Iceland dan sekali lagi bertemu dengan George Bush di tahun 1990. Dia adalah petinggi Rusia pertama yang mengadakan banyak perlawatan ke negara-negara NATO. Dia sempat bertemu dengan Kalselir Jerman Barat, Helmut Kohln, PM Inggris Margareth Tacher dan Perdanan Menteri Canada, Brian Mulroney. Dan pada masa kepemimpian Gorbachev inilah, JermanBarat dan Jerman Timur bersatu kembali.

Dari biografi Mikhail Sergeyevich Gorbachev yang kemudian lolos keluar Rusia, baru diketahui bahwa Raisa telah bersahabat baik dengan Mikhail sang ”Matahari”, sejak mereka masih mahasiswa di Universitas Nasional Moscow dan mereka berdua adalah anak-anak teater di kampus, yang bisa bermain dan menulis naskah drama sekaligus. Animus Mikhail dan Anima Raisa bagaikan ”berlian utuh”, perpaduan sejati belahan jiwa dari dua anak manusia, yang tidak bisa didapatkan dari pelajaran politik sang ”Matahari-Mikhail” atau pelajaran akting, dramawati sang ”Bulan-Raisa”. Tetapi ”berlian utuh” itu lahir dari ”pelajaran” saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan, yang sejak awal mula, dikendaki oleh sang Pencipta: Animus laki-laki diutuhkan oleh Anima perempuan dan sebaliknya. Kahlil Gibran menulis: ”Manusia diciptakan berpasang-pasangan dan selamanya mereka akan tetapberpasangan.” *** (21 April 2012)

Penulis adalah Direktur Radio Timor Kmanek
(RTK), tahun 2006-2011.
Tinggal di Kuluhun, Dili.

Privat Number: +6707324091
E-mail: evitajalur@yahoo.co.uk
ID Facebook: Prisco Virgo
Blog: http//www.svdtlnewsleter.blogspot.com

Terbit:
Suara Timor
Lorosae, Selasa, 24 April 2012, halaman 11.

sexta-feira, 13 de abril de 2012

Meu Senhor e Meu Deus

Evangelho de S. João: 20,19-31

Evangelho de Nosso Senhor Jesus Cristo segundo São João (Jo 20, 19-31)
19 Ao entardecer daquele dia, o primeiro da semana, estando fechadas as portas do lugar onde os discípulos se encontravam, com medo das autoridades judaicas, veio Jesus, pôs-se no meio deles e disse-lhes: «A paz esteja convosco!». 20 Dito isto mostrou-lhes as mãos e o lado. Os discípulos encheram-se de alegria por verem o Senhor. 21 E Ele voltou a dizer-lhes: «A paz seja convosco! Assim como Pai me enviou, também Eu vos envio a vós». 22 Em seguida, soprou sobre eles e disse-lhes: «Recebei o Espírito Santo. 23 Àqueles a quem perdoardes os pecados, ficarão perdoados; àqueles a quem os retiverdes, ficarão retidos». 24 Tomé, um dos Doze, a quem chamavam o Gémeo, não estava com eles quando Jesus veio. 25 Diziam-lhe os outros discípulos: «Vimos os Senhor!». Mas ele respondeu-lhes: «Se eu não vir o sinal dos pregos nas suas mãos e não meter o meu dedo nesse sinal dos pregos e a minha mão no seu lado, não acredito».
26 Oito dias depois, estavam os discípulos outra vez dentro de casa e Tomé com eles.
Estando as portas fechadas, Jesus veio, pôs-se no meio deles e disse: «A paz seja convosco!». 27 Depois disse a Tomé: «Olha as minhas mãos: chega cá o teu dedo! Estende a tua mão e põe-na no meu peito. E não sejas incrédulo, mas fiel!». 28 Tomé respondeu-lhe: «Meu Senhor e meu Deus!». 29 Disse-lhe Jesus: «Porque me viste acreditaste. Felizes os que crêem sem terem visto!». 30 Muitos outros sinais miraculosos realizou ainda Jesus, na presença dos seus discípulos, que não estão escritos neste livro. 31 Estes, porém, foram escritos para crerdes que Jesus é o Messias, o Filho de Deus, e, crendo, tenhais a vida nele.

Palavra da Salvação


Tomé, um dos Doze, a quem chamavam o Gémeo: Tomé é um dos protagonistas do
IV Evangelho, onde se põe em evidência o seu carácter duvidoso e inclinado ao desânimo (Jo 11, 16; 14, 5). “Um dos doze” é já uma frase feita (Jo 6, 71), porque na realidade eram onze. Nós podemos ser “gémeos” com ele por causa da dificuldade em acreditar em Jesus, Filho de Deus, morto e ressuscitado. Vimos o Senhor: já antes André, João e Filipe, tendo encontrado o Messias,
correram a anunciar aos outros (Jo 1, 41-45). Agora é o anúncio oficial por parte das testemunhas oculares (Jo 20, 18). Se eu não vir o sinal dos pregos nas suas mãos e não meter o meu dedo nesse sinal dos pregos e a minha mão no seu lado, não acredito: Tomé não consegue crer através
das testemunhas oculares. Quer fazer a sua experiência. O evangelho é consciente da dificuldade de qualquer um em acreditar na Ressurreição (Lc 24, 34-40; Mc 16, 11; 1Cor 15, 5-8), especialmente os que não viram o Senhor.

Tomé é o seu (nosso) intérprete. Ele está disposto a acreditar, mas quer resolver pessoalmente toda a dúvida, por medo de errar. Jesus não vê em Tomé um céptico indiferente, mas um homem que procura a verdade e satisfá-lo plenamente. É portanto a ocasião para lançar uma apreciação para os futuros crentes (versículo 29). Olha as minhas mãos: chega cá o teu dedo! Estende a tua mão e põe-na no meu peito. E não sejas incrédulo, mas fiel: Jesus repete as palavras de Tomé, entra em diálogo com ele, entende as suas dúvidas e quer ajudá-lo. Jesus sabe que é amado por Tomé e tem compaixão, porque todavia não goza da paz que vem da fé. Ajuda-o a progredir na fé.
Meu Senhor e meu Deus: é a profissão de fé no Ressuscitado e na sua divindade como é também
proclamado no começo do evangelho de João (Jo 1, 1). No Antigo Testamento “Senhor” e “Deus” correspondem respectivamente a “Jahvé” e a “Eloim” (Sal 35, 23-24; Ap 4, 11). É a profissão da fé pascal na divindade de Jesus mais explícita e directa. No ambiente judaico adquiria maior valor, enquanto que se aplicavam a Jesus textos que se referem a Deus. Jesus não corrige as palavras
de Tomé, como corrigiu as dos judeus que o acusavam de querer fazer-se “igual a Deus” (Jo 5, 18ss), aprovando assim o reconhecimento da sua divindade. Porque me viste acreditaste. Felizes os que crêem sem terem visto: Jesus não suporta os que estão em busca de sinais e prodígios para acreditar (Jo 4, 48) e parece reprovar Tomé. Encontramos aqui uma passagem para
uma fé mais autêntica, um “caminho de perfeição” para uma fé a que se deve chegar também sem as pretensões de Tomé, a fé aceite como dom e acto de confiança. Como a fé exemplar dos nossos pais (Ap 11) e como a de Maria (Lc 1, 45). A nós, que estamos a mais de dois mil anos de distância da vinda de Jesus, é-nos dito que, ainda que não o tenhamos visto, podemos amá-lo e acreditando n'Ele podemos exultar de um “gozo indizível e glorioso” (1Pe 1, 8).

Estes (sinais), porém, foram escritos para crerdes que Jesus é o Messias, o Filho de Deus, e, crendo, tenhais a vida nele: o IV Evangelho, como os outros, não tem a finalidade de escrever a vida completa de Jesus, mas somente demonstrar que Jesus era o Cristo, o Messias esperado, o Libertador e que era Filho de Deus. Acreditando n'Ele temos a vida eterna. Se Jesus não é Deus é vã a nossa fé!


Oração final
Dou-te graças, Jesus, meu Senhor, que me amaste e chamaste, e me tornaste digno de ser teu discípulo, que me deste o Espírito, o mandato de anunciar e testemunhar a tua ressurreição, a misericórdia do Pai, a salvação e o perdão para todos os homens e mulheres do mundo. Verdadeiramente Tu és o caminho, a verdade e a vida, aurora sem ocaso, sol de justiça e de paz. Faz que permaneça no teu amor, unido como o sarmento à vide, dá-me a tua paz, de modo que possa superar as minhas debilidades, enfrentar as minhas dúvidas, responder ao teu chamamento e viver plenamente a missão que me confiaste, louvando-te para sempre. Tu que vives e reinas pelos séculos dos séculos. Amen

Ordem do Carmo em Portugl

Som da Chuva - Para Dormir e Relaxar (2 horas)

Costa Rica, a land of peace! Relax!

MEDITATION RELAXING HEALING MUSIC

Four Seasons ~ Vivaldi