quinta-feira, 2 de junho de 2011

FORMA DAN ESENSI


FORMA DAN ESENSI

Peduduk asli benua Eropa berkulit putih, peduduk asli benua Afrika berkulit hitam, peduduk asli benua Asia berkulit kuning dan peduduk asli benua Amerika berkulti merah. Hal ini pernah diajarkan oleh guru ‘ilmu bumi’(geografi) ketika saya masih kelas V Sekolah Dasar. Ternyata warna kulit manusia merupakan salah satu ciri formal, aspek luar, yang menjadi pembeda manusia yang hidup tersebar di empat penjuru dunia ini. Selain warna kulit, masih ada begitu banyak forma eksternal lain yang mengkotak-kotakkan manusia. Ada budaya, bahasa, agama, pengetahuan, pendidikan, sejarah, kehidupan ekonomi, tempat tinggal, iklim, sampai dengan ilmu perang dan tahyul. Budayawan dan Satrawan Mangunwijaya, semasa hidupnya, pernah mengatakan bahwa hal-hal ini sebenarnya hanyalah ‘baju’ luar yang menyembunyikan ‘isi’ sesungguhnya dari manusia. Tetapi apa mau dikata, forma atau ‘baju’ ini sering begitu mendominasi pikiran dan perilaku manusia sampai-sampai ‘isi’ yang begitu penting sering dinomor-duakan. Bahkan dilupakan sama sekali. Perbedaan-perbedaan forma(diversity in form) ini, kerap menjadikan suatu bangsa misalnya, merasa unik, pintar, hebat, berkuasa sendiri, lalu ‘sombong’ dan cenderung menganggap rendah bangsa lain. Oleh sebab itu, entah kolonialisme jaman dulu, maupun neo-kolonialisme jaman kini, semuanya berpangkal dari penekanan miring akan perbedaan forma ini. Coba lihatlah, Amerika selalu merasa besar di mana-mana dan mengira dirinya berhak untuk mencampuri urusan negara mana pun di dunia. Forma yang sama ini pula, akan menjadi lebih pelik lagi ketika diformulasikan sebagai sikap dasar dan titik tolak pemikiran masing-masing kita yang ekstrim individualistis. “Saudara kandung sendiri pun dianggap beda, apa lagi orang lain dari suku atau bangsa lain”. Kalau begitu benar sudah bahwa tiap manusia yang pernah hidup di dunia ini, adalah ‘korban’ perbedaan forma.

‘Bila’ bola Bumi manusia adalah kepingan atau pecahan yang terlempar dari Matahari miliyaran tahun silam, lalu berputar sendiri dan berjalan mengelilingi Matahari bersama planet-planet lain, berarti semua kandungan mineral dan zat dari bumi yang membentuk dan menghidupkan manusia, berasal dari Matahari. Makanya kehidupan di Bumi tidak bisa berlangsung tanpa pengaruh luar biasa dari sang induk, sang inang pengasuh yang pernah memiliki Bumi sebagai bagian dari dirinya sendiri. Itu berarti pula segala makluk yang tumbuh dari Bumi, tidak terkecuali manusia, dalam tubuh mereka terkadung satu zat asali yang sama. Santu Fransiskus dari Asisi pernah menulis: “Matahari saudariku, Bulan saudaraku dan Planet-planet adik- kakakku”. Kita bisa saja merasa aneh dengan sapaan ini, tetapi rahib besar asal Italia itu sebenarnya telah mengatakan kepada kita bahwa forma semesta ini boleh berbeda dari tampang luarnya, tetapi kodrat semesta terbentuk dari satu kandungan yang sama, satu esensi(unity in essence). Artinya, kita semua yang hidup di Bumi ini lahir dari satu induk yang sama. Berasal dari satu zat yang sama. Dalam tubuh kita mengalir mineral yang sama. Bila seorang pria Eropa memutuskan untuk menikahi seorang perempuan Timor, awalnya keluarga akan berkhasak-khusuk karena perbedaan-perbedaan forma atau ‘baju’ luar. Tetapi di kemudian hari pasangan itu justru langgeng sampai ke anak-cucu. Kelanggengan ini bukan saja disebabkan karena pasangan itu telah berhasil mengatasi perbedaan-perbedaan forma yang ada di antara mereka, tetapi terlebih karena mereka memiliki esensi yang sama. “Sejak di matahari, mereka adalah satu zat, saudara dan saudari sebunda!” Istrimu adalah ‘saudari’-mu, suamimu adalah ‘saudara’-mu, kata sang bijak bestari. Tidak pandang, entah dari suku atau bangsa mana pun dia berasal. Kitab Kejadian malah menyebut seorang istri sebagai ‘tulang rusuk’ suaminya.

Ketika masih belajar ilmu komunikasi audio-visual di Irlandia tahun 1999, berkali-kali saya dikejutkan oleh perjumpaan dengan orang-orang yang memiliki kemiripan bagaikan kembaran dari beberapa saudara atau kenalan di pulau Timor dan Flores. Forma saja yang berbeda. Yang di Eropa berkulit putih, berambut perak dan berbicara bahasa Inggris. Yang di Timor atau Flores, berkulit sawo matang, berambut keriting lebat dan berbicara bahasa Indonesia. Tetapi gaya berjalan, duduk dan mimik bicara mereka bagaikan pinang dibelah dua. Bahkan sampai warna suara juga sangat mirip. Mengapa bisa begitu? Esensi mereka satu! Begitu pula arti ungkapan dan phrasa yang saya temukan dalam gejalah bahasa. Guru saya dalam kelas bahasa Inggris pernah menerangkan arti phrasa ‘gate crasher’(penghancur gerbang) yang diibaratkan kepada tamu-tamu tidak diundang ketika ada pesta. Saya lalu teringat phrasa dengan arti dan nuasa yang sama dalam bahasa ibu saya, ‘tapen masu’(kita melihat asap). Forma kedua phara ini sangat berbeda, tetapi merujuk satu pengertian yang sama bagi sikap dan tingkah laku manusia yang ada di Eropa atau pun di Timor. “Diversity in form, unity in essence”, beda dalam forma tetapi sama dalam esensi. Bukankah setelah manusia mati, fisik yang dibanggakan ini sebagai forma pembeda dari makhluk lain, akan kembali menjadi zat dan mineral yang sama, lalu kembali bersatu dengan bumi, yang adalah bagian dari Matahari? Mari kita belajar menghargai persamaan esensi manusia dan semesta, dari pada ‘berkelahi’ mempertajam forma sekunder yang cuma melekat sementara saja tanpa bisa mengubah esensi diri kita yang satu dan sama sampai kekal. Syukur kepada ‘bunda’ Matahari dan sujud sembah yang dalam kepada Sang Pencipta Matahari!

By Padre Prisco, SVD

(Kuluhun, Dili, Timor Leste, 03 Juli 2010) (Terbit di Time Timor, November 2010)

Sem comentários: