segunda-feira, 6 de junho de 2011

AYAHKU PENSIUNAN PEGAWAI NEGERI

(Pe. Prisco Virgo, SVD)


Merayap dari awal sebagai pegawai kecil bagian tata-usaha di salah satu instansi pemerintah, ayahku akhirnya pensiun di puncak karirnya sebagai seorang kepala dinas. Sebuah prestasi luar biasa yang tidak bisa dinikmati oleh kebanyakan rekan pegawainya. Oleh sebab itu ayahku sangat bangga dengan prestasi yang diraihnya itu sebagai seorang mantan abdi negara. Apa lagi beliau hanyalah seorang tamatan sekolah lanjutan tingkat atas tempoe doeloe. Tetapi berkat kerajinan, ketekunan, kejujuran, disiplin kerja, pengabdian tanpa pamrih, pengalaman kerja dan loyalitas yang luar biasa pada atasan, ayahku berakhir gemilang. Pensiun dengan golongan gaji paling besar di kantornya. Ditambah tunjangan ini dan itu. Dan kalau harus saya sebutkan satu hal lagi di sini, sampai hari ini ayahku masih disebut-sebut sebagai salah satu pegawai teladan yang pernah menerima penghargaan dari pemerintah daerah. Karena itu ayahku selalu berkata ketika saya dan adik-adikku masih kecil: “Anak-anakku, bersekolahlah. Dapatkan ijasahmu dan berbaktilah pada negerimu. Kamu pasti meraih apa yang kamu cita-citakan. Kamu akan menerima gaji besar. Kamu juga bisa mendapatkan jabatan dan kedudukan yang bagus. Lalu jaminan pensiun di hari tua dan asuransi kesehatan bagi keluargamu.” Sebelum saya memahami apa artinya kerja dan untuk apa manusia bekerja, kata-kata ayahku ini ibarat nyanyian malaikat yang tidak dapat digantikan oleh nasehat mana pun. Kata-kata ayahku betul menjadi inspirasi hidup selama tahun-tahun sekolahku. Saya percaya betul waktu itu bahwa buah biasanya jatuh tidak jauh dari pohon. Jadi saya pun mulai berpikir-pikir untuk mengikuti jejak ayahku jadi pegawai. Kalau bukan pegawai negeri, pegawai swasta pun tidak apa-apa. Lalu saya mulai bermimpi dapat kedudukan, pangkat dan gaji besar. Bahkan kalau perlu, lebih hebat dari ayahku. Maka ketika ayahku tahu bahwa saya berniat menjadi pegawai, kelak setelah besar, saya terus menjadi anak kebanggaan ayah. Saya lalu dikirim untuk menuntut ilmu, jauh di pulau lain. Kuliah di sebuah perguruan tinggi yang mutunya melebihi sekolah-sekolah yang ada di daerah. Tetapi ternyata cita-cita ayahku menjadikan saya seperti dirinya, kandas di tengah jalan. Bahkan ketika saya masih sangat muda. Dua puluh tahun umurku waktu itu.

Ceritranya sangat sepele. Suatu saat saya kesulitan uang saku karena wesel dari ayahku terlambat tiba. Tanpa konsultasi dengan ayahku terlebih dahulu, saya memutuskan untuk kuliah sambil bekerja. Saya tahu kemudian bahwa ayahku sangat kecewa dengan keputusanku itu. Namun diam-diam saya jalani terus. Waktu luang pada jam kuliah dan sore hari, tidak saya sia-siakan. Saya bekerja sebagai pesuruh di sebuah biro iklan sabun cuci. Rupanya karena sebagian sifat dasar ayahku, terutama jujur dan disiplin menurun padaku, maka setelah satu tahun menjadi pesuruh, saya dipercaya menangani bagian administrasi penjualan dalam kota dan diberi sebuah sepeda motor baru. Sepeda motor lama pemberian ayahku saya jual dan uang hasil penjualan motor itu saya amankan di rekening saya. Itulah modalku yang pertama. Jumlah simpanan itu saya tambahi terus dengan gaji bulananku, sementara saya mencoba bertahan hidup dengan wesel kiriman ayahku yang selalu terlambat satu atau dua minggu. Setelah tiga tahun bekerja sambil kuliah, saya merasa, saya tidak perlu lagi menunggu wesel dari ayahku setiap awal bulan. Saya memutuskan menulis surat kepada ayahku dan meminta beliau mengalihkan jata weselku itu untuk keperluan lain. Ternyata ayahku tidak menyetujui usulanku itu. Pada suatu kunjungan kerja ke luar pulau, beliau sempat singgah ke kota tempatku kuliah dan kami terpaksa berdebat cukup lama tentang soal itu. Beliau berkata: “Saya tidak mungkin membuang tanggungjawab sebagai seorang ayah selama anak saya masih di bangku kuliah. Ingat, gaji ayahmu ini masih cukup untuk membiayai sekolahmu sampai tingkat doktorat!” Saya mengalah dan ayah tetap mengirimkan wesel setiap bulan sampai akhirnya beliau menghentikan kiriman itu. Ayah terpaksa melakukan hal itu karena beliau mendengar sendiri dari teman-temanku yang selesai kuliah dan kembali ke daerah, bahwa saya telah memutuskan berhenti kuliah. Walaupun demikian, ayahku sangat mencemaskan hasil keputusanku berhenti dari sekolah formal. Beliau menelpon berkali-kali dan mencoba mengingatkan saya akan kebaikan dan keuntungan menjadi pegawai negeri. Untuk tidak menyinggung perasaannya, saya selalu menjawab bahwa masih ada kesempatan. Saya masih terlalu muda. Keputusanku berhenti kuliah hanya sebuah intermezo. Sebuah selingan atau cuti antar waktu untuk mencoba sesuatu yang lain yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Yang saya maksudkan adalah bagaimana mencari uang sendiri dan bukan hanya mengharapkan gaji orang tua. Cari pengalaman kerja, kataku. Ayahku lalu mengatakan bahwa justru usia muda adalah saat paling bagus untuk menuntut ilmu dan mencari uang adalah urusan kedua setelah kuliah. Apa lagi kalau jadi pegawai negeri, uang tidak perlu dicari. Tiap bulan ada jaminan gaji. Aman soal uang kalau anda pegawai pemerintah. Sebelum beliau memutuskan hubungan telepon, saya berkata pelan: “Akan saya ingat selalu nasehat ayah.”

Keputusan meninggalkan bangku kuliah adalah keputusan sangat beresiko bagi orang yang bercita-cita menjadi pegawai negeri. Tetapi saya tidak merasa terbebani melakukan hal itu. Saya justru merasa lebih bebas setelah berhenti kuliah. Ilmu yang kudapatkan selama empat tahun, sudah lebih dari cukup untuk mengejar cita-citaku yang lain: Jadi pengusaha. Bukan pegawai! Bukankah Bill Gates, si raja microsoft, justru meninggalkan bangku kuliah setelah tahu bahwa komputer lebih menjanjikan masa depan yang gemilang dibanding jadi pegawai pemerintah? Dan bukankah uang tabunganku sudah lebih dari cukup untuk memulai usahaku sendiri? Saya lalu membeli sebuah rumah sederhana berkamar empat, memperbaikinya dan menyewakan tiga kamar kepada teman-teman mahasiswa. Satu kamar yang sisa saya gunakan untuk memulai kantor biro iklanku sendiri. Mantan bosku sangat mendukung usahaku dan selama banyak tahun setelah itu, kami menjadi kerabat bisnis yang sangat menguntungkan satu sama lain. Dua tahun setelah itu, rumah empat kamar itu saya perbesar jadi delapan kamar dan seluruhnya saya sewakan kepada mahasiswa. Kantor saya berpindah ke areal baru di pusat kota. Saya merekrut dan mempekerjakan empat pegawai di kantor itu, satu sopir dan dua pesuruh. Menjelang pensiun, ayahku datang mengunjungiku. Beliau hanya bisa geleng-geleng kepala ketika tahu bahwa selama enam tahun saya bertahan di bangunan kecil yang berfungsi ganda sebagai kantor sekaligus rumah tinggal itu. Sementara di luar sana saya memiliki dua belas rumah yang dikontrak orang untuk berbagi kepentingan. Dengan nada seloroh saya berkata kepada ayahku: “Kini saya boleh pensiun dini, ayah. Meski umurku baru tiga puluh dua tahun. Sepeda motor yang ayah berikan di awal tahun kuliahku adalah modal untuk usaha ini. Kini saya tidak perlu bekerja keras lagi. Saya tinggal mengontrol usahaku. Uang hasil penjualan sepeda motor itulah yang kini bekerja untuk saya!” Ayahku hanya diam menanggapi selorohku. Sebelum menginggalkan ruang tunggu menuju pesawat, beliau menepuk bahuku dan berkata: “Teruskan usahamu. Maaf, ayah salah menilaimu ketika engkau memutuskan untuk tidak meneruskan kuliah.”

Lima tahun setelah pensiun, uang simpanan ayahku habis. Dan karena usia, beliau mulai sering sakit-sakitan. Pemasukan lain tidak ada. Harapan satu-satunya adalah gaji pensiun pegawai negeri. Jumlahnya tidak seberapa. Hanya setengah dari jumlah seluruh gaji ketika beliau masih aktif sebagai pegawai. Karena itu beliau hidup sangat berkekurangan. Untuk biaya pengobatan, beliau meminjam sana-sini dan akhirnya terlilit utang yang tidak bisa dibayar lagi. Hatinya mulai tertekan karena utang itu dan beliau dihinggapi rasa kesepian yang sangat dalam. Rasa rindu akan anak-anak membuatnya tambah tertekan. Sebab di masa pensiun baru beliau merasa punya waktu untuk keluarga. Tetapi semua anak sudah besar, sudah berkeluarga dan tidak tinggal lagi di rumah orang tua. Ketika masih aktif sebagai pegawai, karena tugas-tugas kantor, beliau jarang ada di rumah. Berangkat kerja sebelum anak-anak bangun dari tempat tidur dan kembali ke rumah ketika anak-anak sudah nyenyak. Jika ada kunjungan kerja ke luar pulau, dua sampai tiga bulan ayah tidak kembali ke rumah. Saudariku pernah berceritra bahwa ketika ayahku sakit parah, mereka melarikannya ke rumah sakit milik pemerintah. Tetapi pelayanan di sana sangat buruk setelah orang rumah sakit tahu bahwa ayahku mantan pegawai negeri dan akan melunasi pembayaran melalui lembaga asuransi kesehatan. “Orang rumah sakit butuh pembayaran dengan uang kontan, bukan melalui asuransi dengan urusan administrasi yang berbelit”, kata saudariku. Ayahku terpaksa dibawa kembali ke rumah dan sembuh karena ramuan yang diberi dukun dari kampung. Saya sangat menyesali kejadian itu, tetapi saya tidak pernah mempersalahkan kefanatikan ayahku mempertahankan keyakinannya bahwa menjadi pegawai adalah pilihan terbaik dalam hidup. Karena memang ayahku dibesarkan oleh generasi peralihan dari tradisi agraris ke tradisi industri. Pada waktu itu masih sangat kuat orang berpegang pada semboyan: “Lahan harus diolah dengan sungguh-sungguh agar menghasilkan panen yang berlimpah. Karena itu siapa tidak bekerja tidak boleh makan!” Semboyan ini tetap hidup di jaman industri di mana banyak orang menggadaikan tenaga dan ilmu yang didapat selama pendidikan ke genggaman para majikan pemilik perusahaan. Entah itu perusahaan pemerintah maupun perusahaan swasta. Maka pilihan menjadi pegawai pada saat itu, minus malum, jauh lebih baik dari pada menjadi petani. Karena terlalu sibuk di dalam kantor, ayahku tidak punya banyak waktu untuk mengikuti perubahan yang terjadi di luar kantor. Pada hal sejak radio, televisi dan internet menjadikan bumi ini satu dusun besar (global village), paradigma kehidupan era industri dicaplok begitu saja oleh paradigma kehidupan era informasi. Kemajuan teknologi informasi yang merambat begitu cepat, ikut mengubah cara berpikir dan cara bertindak manusia. Apa lagi pasar dan arus uang. Orang tidak lagi berbicara tentang berapa banyak uang yang bisa dihasilkan (active income) dengan bekerja keras, tetapi bagaimana uang yang dihasilkan itu dikelola untuk menghasilkan pemasukan tetap (passive income) dengan bekerja lebih sedikit. “Itulah yang dinamakan uang bekerja untuk manusia dan bukan manusia bekerja untuk uang,” kata mantan bosku, direktur biro iklan sabun cuci. Manusia lalu bisa memiliki kebebasan untuk memutuskan pensiun sebelum waktunya untuk pensiun. Manusia lalu bisa meraih dan menggunakan waktu luang untuk diri sendiri, keluarga dan kegiatan-kegiatan relax lainnya. Ayahku sungguh tidak bisa melihat dan membedakan hal-hal seperti ini. Seluruh waktunya habis untuk mengejar karir, promosi jabatan dan perjuangan meraih pangkat. Ayahku sudah merasa aman karena slip gaji tiap bulan dan tunjangan-tunjangan lainnya. Ayahku sudah merasa puas karena simpanan di rekening pribadi. Beliau merasa tidak perlu lagi berpikir tentang bagaimana tetap berpenghasilan kalau sudah tua, pensiun dan tidak punya tenaga lagi untuk bekerja. Beliau tidak pernah membayangkan bagaimana kalau ternyata umurnya sendiri lebih panjang dibanding umur uang simpanannya di bank. Dan akhirnya terbukti, ternyata ayahku bekerja keras selama tiga puluh tahun sebagai pegawai hanya untuk menuai penderitaan di hari tua: Gaji pensiun kecil, simpanan terkuras habis, sakit-sakitan dan terlilit utang.

Ayahku mantan pegawai negeri dengan jabatan kepala dinas dan mantan bosku, pemilik kantor biro iklan sabun cuci tempat saya bekerja semasa kuliah, adalah dua pribadi yang sangat berbeda dari cara mereka memandang kerja dan uang. Ayahku tamatan sekolah lanjutan atas, pejabat negara, tetapi tidak bisa membaca angka-angka yang berhubungan dengan uang. Mantan bosku hanya tamatan sekolah dasar tetapi sangat lihai melihat angka-angka uang yang mengalir. Ayahku mementingkan slip gaji, tunjangan, memiliki uang banyak waktu masih aktif sebagai pegawai, tetapi takut mengambil resiko kalau berhadapan dengan uang. Mantan bosku menekankan kemahiran mengelola uang dan siap menanggung resiko keuangan yang ditanam dalam usaha. Ayahku pensiun sebagai pegawai pengabdi tugas dan pejabat negara pada umur lima puluh lima tahun tanpa memiliki apa-apa. Mantan bosku memutuskan pensiun pada umur tiga puluh tahun sebagai orang merdeka, memiliki waktu luang untuk keluarga selama sisa hidupnya dan pundi-pundinya terus dialiri uang masuk. Saya akui, saya berutang budi kepada kedua orang ini. Yang satu membesarkan saya, menyekolahkan dan mengajari saya untuk bercita-cita. Yang satu mengajari saya bekerja dan memberi saya kesempatan untuk memilih yang terbaik bagi kehidupan saya. Dan bagi anda yang membaca tulisanku ini: “Sukses dalam hidup bukan karena anda adalah siapa, tetapi bagaimana anda menjadi siapa.


”(01-11-2008)*** *)

Pe. Prisco Virgo,SVD penulis lepas, pemerhati masalah ke-bahasa-an dan ke-kebudaya-an.
Tinggal di Kuluhun, Dili, Timor Leste.
(Terbit di Time Timor, Januari 2009, hal. 12, 14-15)

Sem comentários: