terça-feira, 24 de abril de 2012
MANUSIA DICIPTAKAN BERPASANGAN
Pe. Prisco Virgo, SVD
Secara kejiwaan, dalam diri setiap laki-laki atau perempuan, sekaligus ”bermukim” dua arketipe
dasar pembentuk perwatakan manusia, yang dalam bahasa Latin disebut: Animus dan Anima. Watak dasar sang Animus adalah sifat-sifat maskulinitas yang terekspresi melalui sikap-sikap seperti: Pemberani, penguasa, pengambil keputusan, ketangkasan, penantang, keunggulan, kepatriotan, rasional dan penjabaran keinginan secara singkat atau dalam garis-garis besar. Sedangkan watak dasar sang Anima adalah sifat-sifat feminimitas, yang biasanya terekspresi
melalui sikap-sikap: Kelemah-lembutan, keramah-tamahan, suka mengalah, suka berkorban, perhatian, kasih sayang, panjang sabar, mendahulukan orang lain, sensitif dan menjabarkan keinginannya secara mendetail. Kerap kita terjebak dan menduga misalnya, bahwa seorang laki-laki pemberani dan patriotik, tidak memiliki sifat-sifat lemah-lembut. Atau sebaliknya juga, seorang perempuan yang sensitif dan lemah gemulai, tidak memiliki sifat-sifat tegas dan tangkas atau pemberani dan pemberontak.
Ilmu kejiwaan memberitahukan kepada kita bahwa seorang laki-laki memiliki arketipe Animus yang lebih kuat dan lebih menonjol. Maka Anima seorang laki-laki ”terperangkap” dan menjadi pasif oleh karena sifat-sifat kejantanannya, sehingga Anima laki-laki, tidak terlalu berperan dalam perwatakan para pria. Anima seorang laki-laki hanya akan muncul dan berperan dalam
keadaan-keadaan ”kritis” tertentu, untuk bekerja sama dengan sang Animus yang berkuasa itu, agar keseimbangan kebijakan pribadi seorang laki-laki tetap terjaga. Hal yang sama, seratus
persen terjadi pada diri seorang perempuan. Anima seorang perempuan, lebih berperan dibandingkan Animus-nya. Secara natural, normalnya seperti itu. Kejanggalan baru akan muncul, ketika seorang laki-laki memiliki ”Anima” yang lebih menonjol atau juga seorang perempuan, memiliki ”Animus” yang lebih berkuasa, pada arketipe dasar perwatakan masing-masing. Dan ”kejanggalan” itu otomatias diekspresikan melalui sifat dan tingkah laku kongkrit yang kelihatan dalam hidup harian. Masyarakat lalu menciptakan predikat khusus untuk laki-laki atau perempuan jenis terakhir ini. Laki-laki ber-”anima” lebih kuat disebut: Waria (wanita-pria atau bencong) dan perempuan ber-”animus” lebih menonjol disebut: Prita (pria-wanita atau tomboy). Waria dan Prita sering ”dilecehkan” dalam banyak kesempatan. Pada hal seungguhnya, watak itu bukan keinginan mereka. Melainkan deviasi kondisi kejiwaan, ditambah pengaruh lingkungan masa kecil, yang seharusnya perlu diterima apa adanya. Karena hidup ini sendiri pun, sering dipenuhi hal-hal yang sangat kontraditoris.
Secara generatif, seorang anak laki-laki menerima ”Anima” dari ibunya dan seorang anak perempuan menerima ”Animus” dan ayahnya. Karena pada saat persatuan sel ayah dan ibu, setiap anak manusia dibentuk oleh 48 kromosom: 24 dari ayahnya dan 24 dari ibunya. Keadaan arketipe dasar kejiwaan yang berbanding terbalik antara ”Anima” laki-laki dan ”Animus” perempuan inilah, secara alami menyebabkan anak-anak perempuan, pada umumnya lebih dekat kepada ayahnya dan anak-anak laki-laki, akan lebih dekat pada ibunya, sebelum mereka memasuki usia puber. Dan di masa akil-balig itulah, kecenderungan itu akan dialihkan kepada lawan jenis. Maka sampai akhir hanyatnya, secara normal alamiah, seorang laki-laki yang sehat rohani (jiwa) dan jasmani (badan)-nya, akan tetap merindukan kehadiran seorang perempuan
sebagai ”teman”, sekaligus sebagai belahan jiwanya. Begitu pula sebaliknya. Seperti pada hukum magnet yang berbunyi: ”Kutup se-nama, tolak-menolak, kutup tidak se-nama, tarik-menarik.”
Ketika sebuah rumah tangga mulai dibangun setelah pernikahan, secara kejiwaan, laki-laki (suami) dan perempuan (istri), akan selalu saling mengisi. Kelemahan Anima sang suami akan selalu dikuatkan dan diteguhkan oleh Anima istrinya. Sebaliknya, kepasifan Animus sang istri, akan diaktifkan dan diperkokoh oleh ”Animus” suaminya, tanpa mereka sadari. Hal itu berjalan normal alami. Ibarat sebuah rumah, bila suami (laki-laki) adalah ”dinding kokoh” yang melindungi seluruh isi rumah, maka istri (perempuan) adalah ”tiang induk” yang menopang seluruh bangunan rumah itu. Ketika salah satunya roboh, maka seluruh bangunan rumah itu segera menjadi tidak berbentuk. Kisah seperti ini, bisa kita temukan pada kasus-kasus yang sering menimpa pasangan-pasangan yang berhasil mempertahankan usia pernikahan mereka sampai usia lanjut. Bila suami atau istri meninggal dunia, maka dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, pasangannya pun akan ”pergi” menyusuli belahan jiwanya itu. Salah satu contoh klasik yang antik, terjadi antara Kahlil Gibran, Filsuf, Penyair dan Pelukis asal Libanon yang hidup di Amerika Serikat. Melalui korespondensi, sang penyair ini ”menikah” secara”kejiwaan” dengan May Ziadah, Sastrawati Mesir yang tinggal di Kairo. Keduanya tidak pernah bertemu secara fisik dan hanya bisa mengungkapkan getaran jiwa mereka melalui surat menyurat selama bertahun-tahun, tanpa memiliki keinginan untuk menikah dengan orang lain. Ketika Kahlil diberitakan meninggal dunia, May menjadi shock dan akhirnya dia pun meninggal, satu
tahun setelah kematian Kahlil.
Alam yang ”mengasuh” manusia di atas bumi ini pun, kerap dipandang oleh manusia seturut arketipe ”Animus” dan ”Anima” yang ada dalam dirinya. Dalam banyak agama tradisional dan kebudayaan purba, Langit dipandang sebagai yang memiliki ”Animus” (laki-laki), karena
selalu menurunkan hujan, agar Bumi yang dipandang sebagai yang memiliki ”Anima”
(perempuan), bisa menumbuhkan kehidupan baru dari ”rahimnya” (humus tanah). Matahari yang menguasai siang, adalah ”Animus” yang perkasa, karena sinarnya yang terik dan membakar. Sementara Bulan yang menguasai malam, adalah ”Anima”, karena memiliki sinar yang lembut menyejukkan. Matahari dan Bulan adalah Animus dan Anima yang menguasai siang dan malam. Tanpa Matahari, semesta akan menjadi gelap dan tanpa Bulan, semesta akan menjadi gulita. Karena itu, pada bangsa-bangsa purba di jaman dahulu kala, para Kaiser, Raja atau Kepala Negara, mejadikan Matahari sebagai simbol kekuasaan dan para permaisuri atau ibu
negara, menjadikan Bulan sebagai simbol kecantikan dan kumurahan hati. Maka para Raja atau Kaiser yang terlalu kuat Animus-nya, bagaikan Matahari yang bersinar terik dan bisa
menghanguskan negara, sering hanya bisa dijinakkan oleh para permaisurinya yang memiliki kelemah-lembutan bagai Bulan yang menyejukkan dan menenangkan hati para ”Matahari”
itu. Sehingga ada permaisuri atau istri raja yang memiliki sifat seperti ini, sering
disayangi oleh rakyatnya, sejajar penghormatan yang mereka berikan kepada Rajanya.
Saya teringat Presiden Mikhail Sergeyevich Gorbachev, penguasa Unisoviet (11 Maret 1985 - 25 Desember 1991) pada akhir masa perang dingin dengan Amerika Serikat, yang bersinar bagaikan ”Matahari” bagi Rusia. Dia adalah pemimpin Unisoviet pertama yang membuat tercengang para petinggi Kremlin, karena Gorbachev mengisinkan istrinya, Raisa Titarenko, untuk mendampinginya pada setiap kemunculannya di depan umum dan bahkan sang istri bisa ikut melawat bersamanya ke luar negeri. Para pemimpin Rusia sebelumnya, tidak pernah melakukan hal ”ganjil” yang dianggap ”melanggar” protokol kenegaraan itu. Dan sekali lagi, sebelum para petinggi Kremlin itu habis rasa terkejut mereka karena kemunculan Raisa, Presiden ”Matahari” ini mengeluarkan ”jurus-jurus” yang mencengangkan para petinggi pemerintahan di seluruh dunia: ”Keterbukan” (Glasnost), ”Restrukturisasi”(Perestroika), ”Demokratisasi” (Demokratizatsiya) dan “Percepatan Pembangunan Ekonomi” (Uskoreniye). Gebrakan Mikhail ”pemilik” Raisa inilah, yang kemudian menyebabkan perubahan besar-besaran di Unisoviet, termasuk diakhirnya perang dingin dengan Amerika Serikat dan banyak negara Balkan boleh melepaskan diri dari kungkungan Unisoviet bersatu. Satu tahun setelah pelantikannya, dia bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagen di Reykjavík, Iceland dan sekali lagi bertemu dengan George Bush di tahun 1990. Dia adalah petinggi Rusia pertama yang mengadakan banyak perlawatan ke negara-negara NATO. Dia sempat bertemu dengan Kalselir Jerman Barat, Helmut Kohln, PM Inggris Margareth Tacher dan Perdanan Menteri Canada, Brian Mulroney. Dan pada masa kepemimpian Gorbachev inilah, JermanBarat dan Jerman Timur bersatu kembali.
Dari biografi Mikhail Sergeyevich Gorbachev yang kemudian lolos keluar Rusia, baru diketahui bahwa Raisa telah bersahabat baik dengan Mikhail sang ”Matahari”, sejak mereka masih mahasiswa di Universitas Nasional Moscow dan mereka berdua adalah anak-anak teater di kampus, yang bisa bermain dan menulis naskah drama sekaligus. Animus Mikhail dan Anima Raisa bagaikan ”berlian utuh”, perpaduan sejati belahan jiwa dari dua anak manusia, yang tidak bisa didapatkan dari pelajaran politik sang ”Matahari-Mikhail” atau pelajaran akting, dramawati sang ”Bulan-Raisa”. Tetapi ”berlian utuh” itu lahir dari ”pelajaran” saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan, yang sejak awal mula, dikendaki oleh sang Pencipta: Animus laki-laki diutuhkan oleh Anima perempuan dan sebaliknya. Kahlil Gibran menulis: ”Manusia diciptakan berpasang-pasangan dan selamanya mereka akan tetapberpasangan.” *** (21 April 2012)
Penulis adalah Direktur Radio Timor Kmanek
(RTK), tahun 2006-2011.
Tinggal di Kuluhun, Dili.
Privat Number: +6707324091
E-mail: evitajalur@yahoo.co.uk
ID Facebook: Prisco Virgo
Blog: http//www.svdtlnewsleter.blogspot.com
Terbit:
Suara Timor
Lorosae, Selasa, 24 April 2012, halaman 11.
sexta-feira, 13 de abril de 2012
Meu Senhor e Meu Deus
Evangelho de Nosso Senhor Jesus Cristo segundo São João (Jo 20, 19-31)
26 Oito dias depois, estavam os discípulos outra vez dentro de casa e Tomé com eles. Estando as portas fechadas, Jesus veio, pôs-se no meio deles e disse: «A paz seja convosco!». 27 Depois disse a Tomé: «Olha as minhas mãos: chega cá o teu dedo! Estende a tua mão e põe-na no meu peito. E não sejas incrédulo, mas fiel!». 28 Tomé respondeu-lhe: «Meu Senhor e meu Deus!». 29 Disse-lhe Jesus: «Porque me viste acreditaste. Felizes os que crêem sem terem visto!». 30 Muitos outros sinais miraculosos realizou ainda Jesus, na presença dos seus discípulos, que não estão escritos neste livro. 31 Estes, porém, foram escritos para crerdes que Jesus é o Messias, o Filho de Deus, e, crendo, tenhais a vida nele.
Palavra da Salvação
Tomé, um dos Doze, a quem chamavam o Gémeo: Tomé é um dos protagonistas do
IV Evangelho, onde se põe em evidência o seu carácter duvidoso e inclinado ao desânimo (Jo 11, 16; 14, 5). “Um dos doze” é já uma frase feita (Jo 6, 71), porque na realidade eram onze. Nós podemos ser “gémeos” com ele por causa da dificuldade em acreditar em Jesus, Filho de Deus, morto e ressuscitado. Vimos o Senhor: já antes André, João e Filipe, tendo encontrado o Messias,
correram a anunciar aos outros (Jo 1, 41-45). Agora é o anúncio oficial por parte das testemunhas oculares (Jo 20, 18). Se eu não vir o sinal dos pregos nas suas mãos e não meter o meu dedo nesse sinal dos pregos e a minha mão no seu lado, não acredito: Tomé não consegue crer através
das testemunhas oculares. Quer fazer a sua experiência. O evangelho é consciente da dificuldade de qualquer um em acreditar na Ressurreição (Lc 24, 34-40; Mc 16, 11; 1Cor 15, 5-8), especialmente os que não viram o Senhor.
Tomé é o seu (nosso) intérprete. Ele está disposto a acreditar, mas quer resolver pessoalmente toda a dúvida, por medo de errar. Jesus não vê em Tomé um céptico indiferente, mas um homem que procura a verdade e satisfá-lo plenamente. É portanto a ocasião para lançar uma apreciação para os futuros crentes (versículo 29). Olha as minhas mãos: chega cá o teu dedo! Estende a tua mão e põe-na no meu peito. E não sejas incrédulo, mas fiel: Jesus repete as palavras de Tomé, entra em diálogo com ele, entende as suas dúvidas e quer ajudá-lo. Jesus sabe que é amado por Tomé e tem compaixão, porque todavia não goza da paz que vem da fé. Ajuda-o a progredir na fé.
Meu Senhor e meu Deus: é a profissão de fé no Ressuscitado e na sua divindade como é também
proclamado no começo do evangelho de João (Jo 1, 1). No Antigo Testamento “Senhor” e “Deus” correspondem respectivamente a “Jahvé” e a “Eloim” (Sal 35, 23-24; Ap 4, 11). É a profissão da fé pascal na divindade de Jesus mais explícita e directa. No ambiente judaico adquiria maior valor, enquanto que se aplicavam a Jesus textos que se referem a Deus. Jesus não corrige as palavras
de Tomé, como corrigiu as dos judeus que o acusavam de querer fazer-se “igual a Deus” (Jo 5, 18ss), aprovando assim o reconhecimento da sua divindade. Porque me viste acreditaste. Felizes os que crêem sem terem visto: Jesus não suporta os que estão em busca de sinais e prodígios para acreditar (Jo 4, 48) e parece reprovar Tomé. Encontramos aqui uma passagem para
uma fé mais autêntica, um “caminho de perfeição” para uma fé a que se deve chegar também sem as pretensões de Tomé, a fé aceite como dom e acto de confiança. Como a fé exemplar dos nossos pais (Ap 11) e como a de Maria (Lc 1, 45). A nós, que estamos a mais de dois mil anos de distância da vinda de Jesus, é-nos dito que, ainda que não o tenhamos visto, podemos amá-lo e acreditando n'Ele podemos exultar de um “gozo indizível e glorioso” (1Pe 1, 8).
Estes (sinais), porém, foram escritos para crerdes que Jesus é o Messias, o Filho de Deus, e, crendo, tenhais a vida nele: o IV Evangelho, como os outros, não tem a finalidade de escrever a vida completa de Jesus, mas somente demonstrar que Jesus era o Cristo, o Messias esperado, o Libertador e que era Filho de Deus. Acreditando n'Ele temos a vida eterna. Se Jesus não é Deus é vã a nossa fé!
Oração final
Dou-te graças, Jesus, meu Senhor, que me amaste e chamaste, e me tornaste digno de ser teu discípulo, que me deste o Espírito, o mandato de anunciar e testemunhar a tua ressurreição, a misericórdia do Pai, a salvação e o perdão para todos os homens e mulheres do mundo. Verdadeiramente Tu és o caminho, a verdade e a vida, aurora sem ocaso, sol de justiça e de paz. Faz que permaneça no teu amor, unido como o sarmento à vide, dá-me a tua paz, de modo que possa superar as minhas debilidades, enfrentar as minhas dúvidas, responder ao teu chamamento e viver plenamente a missão que me confiaste, louvando-te para sempre. Tu que vives e reinas pelos séculos dos séculos. Amen
Ordem do Carmo em Portugl
domingo, 8 de abril de 2012
DOMINGO DA RESSURREIÇÃO
À PROCURA DA PALAVRA
DOMINGO DA RESSURREIÇÃO
“Correu então e foi ter com Simão Pedro e com o outro
discípulo que Jesus amava.” Jo 20, 2
Correria Pascal
Na noite silenciosa e calma Maria caminha devagar. Quantas lágrimas vai semeando pelo caminho? Vai ao sepulcro fazer o quê? Ungir o corpo de Jesus porque a urgência da sepultura não permitiu fazer os ritos devidos a um defunto? Quer e não quer aproximar-se. Não quer mesmo pensar que tudo foi verdade, que viu morrer Jesus. Mas eis que tudo muda. No alvor do amanhecer vê o sepulcro vazio. E instala-se a correria pascal.
Corre Maria a dizer a Pedro e ao outro discípulo. Correm Pedro e o discípulo ao sepulcro. Mais depressa o segundo mas espera por Pedro. O Ressuscitado põe tudo em agitação, desperta tudo o que dorme, desarruma a ordem natural das coisas, desencadeia o turbilhão da vida que vence todas as mortes. Revoluciona logo o papel passivo, secundário e discriminado das mulheres. A sua palavra era tão insignificante como a de uma criança, de um pastor ou de um escravo. Não valia nada numa sociedade acentuadamente masculina. Uma mulher testemunha do maior acontecimento da história? Só Jesus para se lembrar disto!
No processo jurídico o valor máximo era dado a duas testemunhas. São dois os discípulos que correm ao sepulcro. Pedro, certamente ainda atormentado pelas três negações, o forte derrotado pelo entusiasmo, e o discípulo que Jesus amava, talvez João, talvez...eu ou tu, que nos descobrimos amados e queremos entrar na vida de Jesus! Pedro que vê o sepulcro vazio e as ligaduras mas só entende ainda a morte, a renúncia, o absurdo de dar a vida. E João que acredita, que percebe o amor até ao fim como condição para derrotar a morte, para libertar de todas as ligaduras e sudários que aprisionam a vida. Vence Pedro na corrida das pernas e na corrida da fé. Porque vê para lá do visível, e será o primeiro a reconhecê-lo junto ao mar de Tiberíades.
Quantas correrias se fizeram naquele primeiro dia da semana? Primeiro de um mundo e de um tempo novos. Ao cair da tarde Emaús também se fará perto para o regresso de Cléofas e outro discípulo (novamente sem nome...) a contar o encontro admirável com Jesus. No caminho e na mesa, em que o pão partido revelou o Senhor. Correria que se prolonga na vida da Igreja e dos
discípulos de Jesus pela alegria de viver com Ele e manifestar a sua presença. Uma correria que questiona os acomodamentos e a instalação, os hábitos vazios e os esquemas burocráticos. Correria que oferece a palavra viva de Jesus e estimula o crescimento, que acolhe, ilumina e compromete, que vai alargando o coração de cada um a fronteiras nunca antes imaginadas.
Quando muitas correrias da vida de hoje são feitas de aflição e desânimo, de procura de trabalho e de alimento, de contas a pagar e de sonhos a desmoronar, de ratings e troikas, acreditamos que a vida ressuscitada de Jesus em nós pode renovar a terra? Esta terra já que tem a amplitude das nossas relações?
P. Vítor Gonçalves
in VOZ DA VERDADE 08.04.2012
sábado, 7 de abril de 2012
Sábado Santo|Vigília Pascal
A Sua Alma não deixou de vigiar e de continuar operante. Ela desce até onde a esperam todos aqueles que acreditaram em Deus e viveram na esperança da vinda do Redentor. Para todas as gerações da história humana, a Sua Morte é causa de
salvação.
Mas repousam os Seus membros mortais e sofredores, como repousa a semente no seio da terra, na expectativa da vinda definitiva e gloriosa que, esta noite, irá surgir.
Participando embora do mistério do Seu sofrimento e da Sua morte, ela vive na esperança. Sabe, com efeito, que Jesus, tão fiel ao Pai até à morte, não pode ficar "abandonado à corrupção". A Sua Morte será o penhor da nova Criação, que se aproxima.
Sabe também que o "repouso" de Jesus é a imagem do "repouso" de todos aqueles que foram baptizados na Sua Morte e Ressurreição. Depois que Ele morreu e foi sepultado, santificando a morte, el já não será uma realidade terrível, mas sim "um intervalo, espiritualmente vivo, para o início de uma vida superior".
Fonte: Evangelizo.org
"A intenção simples é um remédio divino, um bálsamo que conforta as potências de nossa alma ferida pela auto-expressão desordenada. Cura as nossas ações em suas enfermidades secretas.
Arrasta nossa força ao cimo oculto do nosso ser, e banha nosso espírito na infinita misericórdia de Deus."
sexta-feira, 6 de abril de 2012
SEXTA FEIRA DA PAIXÃO DO SENHOR
A Paixão do Senhor, que não pode tomar-se isoladamente como um fato encerrado em si mesmo, visto ser apenas um dos momentos constitutivos da Páscoa, só pode compreender-se à luz da Palavra divina. Por isso, a Liturgia começa por nos introduzir, por meio de Isaías, de S. Paulo e de S. João, no mistério do sofrimento e Morte de Jesus.
Na posse do significado salvífico da Paixão, a assembleia cristã sente necessidade de se unir a esse ato sacerdotal de expiação e intercessão. Assim, a Liturgia da Palavra encerrar-se-á com uma solene oração, que abrange a humanidade inteira, pela qual Cristo morreu - uma oração
verdadeiramente missionária.
A Cruz, sinal do amor universal de Deus, símbolo do nosso resgate, domina a segunda parte da Celebração.
Levada processionalmente até ao altar, a cruz é apresentada à veneração de toda a humanidade pecadora, representada pela assembleia cristã. Nela, nós adoramos Jesus Cristo, Aquele que foi suspenso da Cruz, Aquele que foi, que é a "salvação do mundo". É a ele também que exprimimos o nosso reconhecimento, quando beijamos o instrumento da nossa reconciliação.
Depois da contemplação do mistério da Cruz e da adoração de Cristo crucificado, a Liturgia vai-nos introduzir no mais íntimo do Mistério Pascal, vai-nos pôr em contacto com o próprio "Cordeiro Pascal".
Não se celebra hoja a Eucaristia. No entanto, na Comunhão do "Pão que dá a Vida", consagrado em Quinta-feira Santa, somos "batizados" no Sangue de Jesus, somos mergulhados na Sua morte.
Fonte: Evangelizo.org
"Quanto mais falamos, mais tolo fica. É aqui que entra o silêncio. Ouvimos a profundidade de nosso próprio ser, e deste ouvir vem um rico silêncio, o silêncio de Deus, que diz apenas 'Deus' ou 'Eu sou'."
The Springs of Contemplation, Thomas Merton
Quinta-feira Santa | Ceia do Senhor
Seguindo um rito evocativo das grandes intervenções salvíficas de Deus, os Apóstolos celebravam a Ceia pascal, sem pressentirem que a nova Pácoa
havia chegado.
Essa Ceia, contudo, será a última, pois Jesus, tomando aquela simbólica refeição ritual, dá-lhe um sentido novo, com a instituição da Eucaristia.
Misteriosamente antecipando o Sacrifício que iria oferecer, dentro de algumas horas, Jesus põe fim a todas as "figuras", converte o pão e o vinho no Seu Corpo e Sangue, apresenta-se como o verdadeiro cordeiro pascal - o "Cordeiro de Deus" (Jo 1, 29).
O Sacrifício da Cruz, com o qual se estabelecerá a "nova Aliança", não ficará, pois, limitado a um ponto geográfico ou a um momento da história: pelo Sacrifício Eucarístico perpetuar-se-á, "pelo
decorrer dos séculos até Ele voltar" (SC, 47). Comendo o Seu Corpo imolado e bebendo o Seu Sangue, os discípulos de Jesus farão sua a Sua oferenda de amor e beneficiarão da graça, por ela alcançada aos homens. "Pela participação no Sacrifício Eucarístico, fonte e centro de toda a
vida cristã, oferecem a Deus a Vítima divina e a si mesmos juntamente com ela" (LG, 11).
Para que este mistério de amor se pudesse realizar, Jesus ordena aos Apóstolos que, até ao Seu regresso, à Sua semelhança e por Sua autoridade, operem esta transformação, ficando assim participantes do Seu mesmo Sacerdócio.
Nascido da Eucaristia, o Sacerdócio tornará, portanto, actual, até ao fim dos tempos, a obra redentora de Cristo. Sendo a Eucaristia a obra prima do amor de Jesus, a prova suprema do Seu
amor (Jo 13, 1), compreende-se agora bem porque é que Ele escolheu a última Ceia para fazer a proclamação solene do "Seu mandamento", o de "nos amarmos uns aos outros", o mandamento novo, "que resume toda a lei".
Fonte: Evangelizo.org
"Ela (Sofia) está em todas as coisas como o ar recebendo a luz do sol. Nela eles prosperam. Nela, glorificam a Deus. Nela, regozijam-se em refleti-Lo. Nela, estão unidos a Ele. Ela é a união entre eles. Ela é o amor que os une. Ela é vida como comunhão, vida como ação de graças, vida como louvor, vida como festa, vida como glória."
A Thomas Merton Reader
terça-feira, 3 de abril de 2012
Um de vós há-de entregar-me...
«Um de vós há-de entregar-me...
Não cantará o galo, sem que Me tenhas negado três vezes» Vão-se acumulando os antecedentes imediatos da Paixão. Jesus anuncia a traição de Judas e a negação de Pedro. Depois da rejeição dos meios oficiais, vem agoraa traição e a negação dos seus. Estamos já na última Ceia. S. João vai interpretando os acontecimentos de maneira simbólica: atrás do pão, Satanás entra em Judas; já era noite; a morte de Jesus é a sua glorificação; Pedro segui-l’O-à depois; Jesus está cada vez mais abandonado dos homens, ao mesmo tempo que é o seu Salvador.
Evangelho de Nosso Senhor Jesus Cristo segundo São João
Naquele tempo, estando Jesus à mesa com os discípulos, sentiu-Se intimamente perturbado e declarou: «Em verdade, em verdade vos digo: Um de vós Me entregará». Os discípulos olhavam uns para os outros, sem saberem de quem falava. Um dos discípulos, o predilecto de Jesus, estava à mesa, mesmo a seu lado. Simão Pedro fez-lhe sinal e disse: «Pergunta-Lhe a quem Se refere». Ele inclinou-Se sobre o peito de Jesus e perguntou Lhe: «Quem é, Senhor?» Jesus
respondeu: «É aquele a quem vou dar este bocado de pão molhado». E, molhando o pão, deu-o a Judas Iscariotes, filho de Simão. Naquele momento, depois de engolir o pão, Satanás entrou nele. Disse- lhe Jesus: «O que tens a fazer, fá-lo depressa». Mas nenhum dos que estavam à mesa compreendeu porque lhe disse tal coisa. Como Judas era quem tinha a bolsa comum, alguns pensavam que Jesus lhe tinha dito: «Vai comprar o que precisamos para a festa»; ou então, que
desse alguma esmola aos pobres. Judas recebeu o bocado de pão e saiu imediatamente. Era noite. Depois de ele sair, Jesus disse: «Agora foi glorificado o Filho do homem e Deus foi glorificado n’Ele. Se Deus foi glorificado n’Ele, também Deus O glorificará em Si mesmo e glorificá l’O-á sem demora. Meus filhos, é por pouco tempo que ainda estou convosco. Haveis de
procurar-Me e, assim como disse aos judeus, também agora vos digo: não podeis ir para onde Eu vou». Perguntou-Lhe Simão Pedro: «Para onde vais, Senhor?». Jesus respondeu: «Para onde Eu vou, não podes tu seguir-Me por agora; seguir-Me-ás depois». Disse-Lhe Pedro: «Senhor, por que motivo não posso seguir-Te agora? Eu darei a vida por Ti». Disse-Lhe Jesus: «Darás a vida por Mim? Em verdade, em verdade te digo: Não cantará o galo, sem que Me tenhas
negado três vezes».
Palavra da salvação.
segunda-feira, 2 de abril de 2012
Deixa-a; ela fez isto em vista do dia de minha sepultura
1Seis dias antes da Páscoa, Jesus foi para Betânia, onde morava Lázaro, que ele havia ressuscitadodos mortos.2Ali ofereceram a Jesus um jantar; Marta servia e Lázaro era um dos
que estavam à mesa com ele. 3Maria, tomando quase meio litro de perfume de
nardo puro e muito caro, ungiu os pés de Jesus e enxugou-os com seus cabelos. A casa inteira ficou cheia do perfume do bálsamo.4Então, falou Judas Iscariotes, um dos seus discípulos, aquele que o havia de entregar:5′Por que não se vendeu este perfume por trezentas moedas de prata, para as dar aos pobres?’6Judas falou assim, não porque se preocupasse com os pobres, mas porque era ladrão; ele tomava conta da bolsa comum e roubava o que se depositava nela.7Jesus, porém, disse: ‘Deixa-a; ela fez isto em vista do dia de minha sepultura.8Pobres,
sempre os tereis convosco, enquanto a mim, nem sempre me tereis.’9Muitos
judeus, tendo sabido que Jesus estava em Betânia, foram para lá, não só por causa de Jesus, mas também para verem Lázaro, que Jesus havia ressuscitado dos mortos.10Então, os sumos sacerdotes decidiram matar também Lázaro,11porque, por causa dele,muitos deixavam os judeus e acreditavam em Jesus.
Palavra do Senhor.
Deixa-a; ela fez isto em vista do dia de
minha sepultura.
A vida e as atitudes de Jesus sempre causaram reações contraditórias de aceitação ou rejeição. A
morte de Jesus também não foi diferente. Para os principais dentre os judeus, a
morte de Jesus significou a realização dos seus planos e uma vitória conquistada no sentido da manutenção da ordem estabelecida. Para o poder romano, não significou nada, pois ele foi mais um entre os muitos que são condenados à morte. Mas quem o amava, houve um momento de carinho e atenção à sua pessoa antes que a morte chegasse trazendo o sofrimento, a dor e a
separação. (CNBB)
Reflexão:
Esta cena de Betânia nos apresenta duas pessoas olhando para Jesus: Maria e Judas. Maria
quer expressar todo seu amor. E o faz com um presente de qualidade, bastante caro. Judas, infelizmente, não entende a linguagem do amor. Só entende a linguagem do interesse, disfarçado em caridade: partilhar com os pobres. O perfume com que Maria unge os pés de Jesus é símbolo de unidade, de amor.
Fonte:Paulinas
domingo, 1 de abril de 2012
WE PRAY FOR THE STRENGTH TO ACT JUSTLY
O Lord, Open my eyes
that I may see the needs of others.
Open my eyes that I
may hear their cries.
Open my heart so that
they need not be without succor.
Let me not be afraid
to defend the poor because of the anger of the strong;
Not afraid to defend
the poor because of the anger of the rich.
Show me where love and
hope and faith are needed,
And use me to bring
them to those places.
And so open my eyes
and ears that I may this coming day be able to do some work of peace for thee.
Amen
Sunday of the Passion
April 1, 2012
Isaiah 50:4-7;
Psalm2; Philippians 2:8-9; Mark 14:1-15:47
Mark's Passion isthe oldest
narration of the four Gospels. It contains the most graphic violencebecause it
was the most proximate to the event. As time heals wounds, the other Gospels
lose the intensity of the drama. The Jesus portrayed by Mark is themost human.
He does not have conscious knowledge that he is God or that he willbe redeemed.
He goes to his death trusting in a God who remains silent to hiscries. Jesus
dies alone - even God abandons him. His last words are pleadingcries to God:
"Why have you forsaken me?"
His mission is an apparentfailure. He
trusts in God, who does not show up for him.
A major theme of Mark's Gospel
is thefailure of the closest disciples of Jesus to comprehend that he is the
Messiah.The very first words of the Gospel disclose that "this is the good
news ofJesus Christ, the Son of God." When we encounter the disciples at
the beginning, they are full of energy and commitment when they immediately
leave their livelihoods to follow Jesus. Yet, as Jesus reveals his identity,
theminds and hearts of the disciples get clouded. They are not alone in their hardening
of hearts. Many stories reveal lack of faith as a failure to see andunderstand
in contrast with those who come to see him as the Son of God. TheTwelve, who
should know better, abandon Jesus one by one at the arrestfollowing the Last
Supper, and run away. Even Mark, the Gospel author, writes himself into the
narrative: he too runs away naked when the guards try to seizeand arrest him.
Jesus is left to face his tribulations utterly alone.
However, as the disciples
repeatedly fail, certain women remain faithful. A woman seeks out Jesus at the
house of Simon the leper before the feast of the Passover and the feast of
Unleavened Bread. She pours excessive quantities of costly perfumed oil onto
the head ofJesus as a burial anointing. Jesus makes it clear that her act of
faith will beremembered by future generations.
Mary Magdalene, Salome, and
Mary, themother of James and Joses, watch the crucifixion events from a
distance. They are joined by many other faithful women who come up with him to
Jerusalem. Theireye-witness is key to show that Jesus really dies and is buried
and that they know the place of the burial. They are present when the stone is
rolled against the entrance of the tomb that Joseph of Arimathea, another
believer, acquiresfor him. Our faith is based on the reality that Jesus dies
and is buried.
Not all the men are weak in
their faith; not all the women abide by Jesus. We remember that the women run
away from the empty tomb filled with fear - too afraid to tell anyone. Even
their faith has been rocked. At this point, we come to the original ending of
Mark'sGospel. Jesus dies; the mission fails; the disciples abandon him; even
the women flee in fear. End of story - until we go back to the beginning of the
Gospel and understand that much more has happened as we know the secret – this Jesus
is the Son of God - just as the Roman centurion, a Gentile, testifies.
Since Mark's Gospel is a mere
16 chapters, it is worth reading slowly during Holy Week to get a full view of
theauthor's intentions. When one does this, he or she is able to see the
important nuances in the Passion narratives. Too often, Christians surface skim
the textsto find parallels between the others. To an ordinary reader, the
Passion textsare nearly identical, but when you let the details emerge, the
Gospels reveal profound insights that create new levels of meaning.
I set aside half an hour
before Massto read the Passion narrative slowly. I fix my attention on the
emotions ofeach character so I can experience what they may have felt. Mostly,
I try to understand what Jesus is feeling. I ask him to tell me as I hold what
he says in reverent silence. I simply want to be a friend to him and give him
what heneeds most in suffering - the experience of sharing his story with a
friend. Each year, I am surprised with the deeper emotions he shares with me. I
know Ican never hold all his pain; I just try to be there with him. I don't
know what else to do.
Ignatian Spirituality:Set World Ablaze